Sejarah Syaikh Burhanuddin Ulakan Sumbar
Burhanuddin Ulakan Pariaman atau dikenal dengan sebutan Syaikh
Burhanuddin Ulakan (lahir tahun 1646 di Sintuk, Kabupaten Padang
Pariaman - meninggal 20 Juni 1704 pada umur 58 tahun) adalah ulama uang
berpengaruh di daerah Minangkabau sekaligus ulama yang menyebarkan Islam
di Kerajaan Pagaruyung. Selain itu beliau terkenal sebagai pahlawan
pergerakan Islam melawan penjajahan VOC. Beliau juga dikenal sebagai
ulama sufi pengamal (Mursyid) Tarekat Shatariyah di daerah Minangkabau,
Sumatera Barat.
Kehidupan awal dan pendidikan
Tidak banyak keterangan mengenai masa kecil dan latar belakang kehidupan
Syeh Burhanuddin yang berkubur di Ulakan itu. Nama kecilnya adalah
Sipono / Pono (si Panuah /Samporono). Lahir di Pariangan Padang Panjang
tahun 1066H (1646 M). Ayahnya bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah,
suku Koto. Ibunya bernama Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Neneknya
bernama Puti aka Lundang keturunan Putri bangsawan kakeknya bernama
Tantejo Gurhano. Kehidupan kedua orang tuanya beternak sapi.
Keluarga Pampak Sati gelar Karimun Merah meninggalkan kampung
halamannya, Pariangan Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun ke
Malalo, terus ke Bukit Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu
Tanam. Dengan menghilirkan batang Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk.
Jalan ini merupakan jalan dagang yang diawasi oleh Tuan Gadang dari
Batipuh.
Di tempat inilah keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama
dikembangkannya karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur.
Pono dengan rajin dan patuh menggembalakan ternak ayahnya sehingga
berkembang biak yang membawa keluarga Pampak termasuk keluarga
terpandang di daerah baru ini.
Pono berjalan menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di
nagari Tapakis, bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman
baru, seorang pemuda sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo,
suku Koto, berasal dari Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti
yang halus.
Ada kelebihan dari sipono bahwa dia selalu tidak mau menerima apa adanya
dia selalu berfikir dan bertanya dan banyak waktunya dia habiskan di
bukit untuk merenung sambil menggembala kerbau sehingga suatu ketika
sirangkak nan badangkang (Harimau) mengintai untuk memangsanya namun
berbekal pelajaran beladiri dari ayahnya sipono bisa mengusir harimau
tersebut namun malang baginya urat kakinya putus terkena kuku sirangkak.
Sehingga akibat peritiwa itu dibawanya hingga akhir hayat dan dia
mendapat gelar baru oleh teman temannya si pincang.
Secara garis besar agama Islam telah masuk ke Pulau Perca (Asia) dan
disebarkan di aceh 300 tahun sebelum sipono lahir namun agama baru ini
tidak bisa menyentuh sendi kehidupan daerah darek yang masih memeluk
agama Hindu dan Budha yang kuat, namun ulama dari timur bisa menembus
pedalaman Pakan Tuo batang bangkaweh yang merupakan salah satu jalur
perdagangan kala itu.
Dan seperti biasa setiap hari pekan Sipono selalu dibawa ayahnya pergi
ke pasar Tuo Batang Bangkaweh disini dia dipertemukan pada seorang
gujarat yang disebut dengan “Illapai” untuk belajar berniaga.
Kiranya Illapai ini memasukkan fahammnya pada Sipono dan sipono tertarik
untuk mendalaminya dan sejak saat itu bermulalah perjalanan hidup si
Pono.
Suatu ketika Illapai menceritakan bahwa Di nagari Tapakis berdiam
seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syeh Abdul Arif yang
terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah.
Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syeh Abdul Arif
bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin
dan Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syeh Abdur Rauf al Singkli
dan sama-sama berguru kepada Syeh Ahmad Kosasih dan Syeh Abdul Qadir al
Jailani di Madinah. Syeh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar
agama Islam kepada anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan, anak
nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan
lama.
Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam
dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang
khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin
serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang
terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya.
Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku Madinah meninggal dunia. Pono sering
bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya
Pono karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan
disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak mungkin
ilmu gurunya itu menjadi gagal.
Dengan perasaan hiba dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau
sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau
menyendiri dari pergaulan ramai, mengingat kemungkaran yang sering
dilakukan anak nagari. Untuk mengobati hati yang luluh beliau dengan
tekun dan sepenuh hati mengamalkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang
diperoleh selama belajar dengan almarhum Tuanku Madinah.
Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan
teman-teman dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun
agama Islam mulai meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk.
Dakwah Pono demikian tidak berlangsung lama. Tantangan demi tantangan
datang dari anak nagari, terutama para penghulu suku dan pimpinan
nagari. Mereka merasa wibawa mereka akan berkurang karenanya.
Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan kegiatan
dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya tantangan
semakin menjadi. Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan kemudian
dengan ancaman pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan
musyawarah nagari untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan
dakwahnya. Pono tidak mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk.
Memperdalam Ilmu ke Aceh
Pada saat krisis ini menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali
segar dalam ingatannya pesan almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar
memperdalam ilmu agama kepada seorang ulama besar Abdur Rauf al Singkli.
Pesan guru ini disampaikan dengan khidmat kepada kedua orang tuanya dan
mereka merestuinya.
Secara diam-diam mereka berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam usia muda, 15 tahun, malam hari Pono meningalkan negari
Sintuk menuju Aceh guna memenuhi pesan gurunaya, Tuanku Madinah.
Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas kepergian anak tercinta.
Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata terus membasahi pipinya.
Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah pertama menuju Aceh
kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan Islam di
Minangkabau.
Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh mata-mata
pemimpin nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat serta
penyerahan diri kepada Allah. Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan
berguru kepada Syeh Abdur Rauf al Singkli, seorang ulama yang masyhur
waktu itu memenuhi amanat almarhum gurunya yang pertama, Tuanku Madinah.
Pono sudah berangkat. Nagari Sintuk sudah jauh ditinggalkan. Tanpa kawan
ia menyusuri pesisir Samudra Indonesia. Secara kebetulan, dalam
perjalanan ia bertemu dengan empat orang pemuda sebaya dengan dia.
Mereka lalu berkenalan, dan ternyata mereka mempunyai niat yang sama,
hendak pergi ke Aceh untuk menuntut ilmu agama kepada Syeh Abdur Rauf.
Mereka adalah Datuk Maruhum dari Padang Ganting, Tarapang dari Kubuang
Tigo Baleh, Muhammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyung Mudo dari Bayang
Tarusan.
Terjadilah persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah
didapat kata sepakat, Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang
diterimanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan, akhirnya dengan selamat
mereka sampai di Singkil langsung menghadap dan memperkenalkan diri
kepada Syeh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak dari kampung
halaman disampaikan dengan sopan. Dengan segala senang hati Syeh Abdur
Rauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya.
Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli (1620 -1693)
Syeh Abdurauf Singkel adalah seorang ulama terkenal dalam abad ke-17. Ia
dilahirkan pada tahun 1620 di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan sekarang.
Nama lengkapnya ialah Abdurrauf al Ali al Jawi al Fansuri al Singkel.
Syeh Abdurauf Singkel dimuliakan oleh rakyat Aceh sejak dahulu hingga
sekarang. Banyak legenda mengenai Syeh Abduurauf yang terus hidup dan
dikenal turun temurun. Archer dalam bukunya, Muhammadan Mysticism in
Sumatera mengatakan, “Syeh Abdurauf Singkel, seorang cendekiawan muslim
Aceh yang sekarang dikenal dengan nama Tengku Dikuala” Nama tertancap
dalam lubuk hati rakyat sebagai ulama dan intelektual yang jenius pada
zamannya.
Sesudah mendapat pendidikan di kampung halamannya dan di ibu kota
Kerajaan Aceh, ia melanjutkan studinya ke tanah Arab. Pada tahun 16423,
ia berangkat ke Mekah. Selama 19 tahun lamanya di tanah Arab, di
antaranya Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Batalfakih dan beberapa
tempat lainnya. Syeh Abdurauf menyelesaikan studinya pada seorang ulama
Tharikat Syattariah yang bernama Molla Ibrahim, pengikut Ahmad
Qusyasyi. Pada tahun 1661, ia kembali ke Aceh.
Sesampainya di Aceh, ia mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara
sungai Aceh. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara orang datang ke
tempatnya untuk belajar. Atas usaha murid-muridnya, Tharikat Syattariah
yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia dan Semenanjung Malaya. Di
antara muridnya yang terkenal ialah Syeh Burhanuddin di Ulakan seorang
mubaligh yang terkenal di Minangkabau yang menyiarkan agama Islam secara
intensif ke pedalaman Minangkabau.
Di samping sebagai mubaligh dan ulama, Syeh Abdurauf terus menerus
memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum. Sebuah karyanya dalam lapangan
hukum berjudul, ”Hudayah Balighah ala Jum’at al Mukhasaman” yaitu
sebuah kupasan mengenai hukum Islam tentang bukti, persaksian dan sumpah
palsu.
Pendapat Syeh Abdurauf di lapangan hukum syariat sangat dipatuhi rakyat
Aceh dan buah pikirannya terus hidup sampai sekarang dan lebur menjadi
kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh. Kesanggupan Syekh Abdurauf
merumuskan hukum-hukum Islam sangat dikagumi sehingga syariat Islam
dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat Aceh saat ini. Syariat Islam
telah dijadikan Peraturan Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Karyanya yang berjudul, Miratul Tullab fi tasyil Makrifatul Ahkam
Asysyar’iyah li Malikul Wahhab, merupakan sebuah buku pengantar Ilmu
Fikih menurut Mazhab Syafi’i. Buku ini hampir sama dengan karya Nuruddin
Ar Raniri yang berjudul Sirathul Mustaqim. Bedanya buku Nuruddin ar
raniri hanya berisi soal-soal ibadah saja, tetapi buku Syekh Abdurauf
berisi juga tentang mu’amalah.
Kupasannya mengenai pokok-pokok ajaran tasauf termuat dalam bukunya
berjudul Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, dan Umdat
al Muhtadin. Tafsir al Quran dalam bahasa Melayu telah diterbitkan di
Istambul pada tahun 1882.
Kegiatannya sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada
masa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin, seorang sultan yang memerintah
selama 34 tahun. Masa pemerintahan pemerintahannya adalah masa yang
penuh luka-luka karena kekalahan armada Aceh ketika menyerang Malaka
pada tahun 1629. Sementara pertentangan faham agama tindakan kekerasan
yang dilakukan semasa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin dalam membasmi
ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dalam ajaran
Syattariah tentang Wihdatul wujud.
Bentuk dan sifat pertentangan antara Syeh Abdurrauf dan Ar Raniri dengan
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani berpangkal pada adanya dua
aliran dalam ilmu tasauf. Aliran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al
Sumatrani bernama wihdatulwujud atau kesatuan ujud sedangkan aliran Syeh
Abdurrauf adalah Wihdatusysyuhud.
Wihdatusysyuhud ialah faham umum umat Islam yang menyatakan bahwa alam
yang baru ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi,
bukkanlah alam itu sebagian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda adanya
Tuhan. Pemahaman ini adalah pemahaman wujudiyah/wahdatul wujud yang
telah di sempurnakan oleh Syeh Abdurrauf yang ditulis dalam kitabnya
“Tanbih Al-Masyi”.
“maka pahamilah ketetapan ini dan janganlah mencampur adukan sesuatu,
karena mencampuradukan persoalan itu termasuk kebiasaan orang-orang yang
tidak mengenal Allah. Katakan dan yakinkan bahwa hamba tetap hamba
meskipun ia naik pada tingkat yang tinggi (taraqqi) Tuhan tetap Tuhan,
meskipun Dia turun (tanazzul) dan hakekat itu tidak akan berubah,
artinya hakekat hamba tidak akan berubah menjadi hakekat Tuhan. Demikian
pula sebaliknya walau pada zaman azali sekalipun.”
Keterangan yang dijelaskan oleh Syeh Abdurrauf bahawa hamba tidak akan
bisa menyatu pada Tuhan secara mutlak. Syeh Abdurrouf mengutip
keterangan dari gurunya Ibrahim Al-Khurani :
“pada zaman azali tidak ada yang tampak selain Allah, segala sesuatu
tersimpan pada pengetahuanNya. Dan tidak memiliki wujud yang berbeda
dari Al-haq, ia tampak karenaNya dan ia wujud karena wujudNya.”
Ditegskan kembali oleh Syeh Abdurrauf:
“ketahuilah wahai murid bahwa kesatuan segala sesuatu itu tidak benar
kecuali sekalian munculnya segala sesuatu tersebut dalam kenyataan
(MASIH ADA PADA ZAMAN AZALI) oleh karenanya , kita tidak dapat
mengatakan bahwa Al-Kull itu adalah Al-haq, kecuali dari segi tidak
adanya perbedaan dalam keesaan seperti yang telah dikemukakan. Adapun
hukum batin adalah hukum yang samar (‘adam) sedangkan hukum yang lahir
adalah hukum yang tampak nyata (wujud) ketahuilah itu dan jangan keliru
dalam hal ini, kamu memohon ampunan dan kesehatan kepada Allah dalam
urusan agama, dunia dan ahkirat.”
Pada hari Jum’at tanggal 4 Sya’ban 1114 H atau 1698 M, Syeh Abdurauf
berpulang ke rahmatullah. Pada batu nisannya terlukis Al Waliyul Malki
Syeh Abdurrauf bin Ali. Namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan
Syeh Kuala. Sesudah ia meninggal dikenal dengan nama Tengku di Kuala
atau Syeh Kuala. Ia mengambil tempat untuk mengajar di kuala (muara)
Krueng (sungai) Aceh dan di sana pula ia dikuburkan.
Syeh Abdurrauf berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Kemudian
beliau kembali ke Aceh langsung mendirikan rangkang (pesantren) dekat
muara Krueng Aceh. Kegiatan rangkang ini maju pesat. Kemampuan Syeh
Abdur Rauf merumuskan hukum-hukum Islam dalam bentuk sederhana dan mudah
dicernakan, menyebabkan syariat Islam dapat diterima dan dilaksanakan
masyarakat Aceh. Atas dasar pengetahuannya di bidang hukum agama, ia
diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh.
Syeh Abdur Rauf adalah seorang sufi dari aliran Syattariah dan bermazhab
Syafe’i. Fahamnya dalam tasauf tergolong dalam faham yang dinamakan
Wihdatusysyuhud, jadi tidak berbeda faham pendirian Nuruddin Ar Raniri.
Dalam polemik beliau menentang ajaran-ajaran Hamzah Fanshuri dan
Syamsuddin As Sumatrani cukup tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana
sehingga kekacauan dan peperangan agama tidak terjadi dalam masyarakat .
Sejak masa Sulthan Iskandar Muda telah tinggi perbincangan ulama-ulama
dalam hal agama, yang terpenting pertentangan antara faham wihdatul
wujud yaitu ”alam ini adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri,
laksana buih pada puncak ombak. Maka dalam alam zahir ini sebagai
bahagian dari pada ketuhanan yang besar“. Menurut ahli tasauf dari
aliran ini, dunia adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti sari yang
tidak tercipta.
Wihdatusyuhud ialah paham yang rata pada umat Islam, bahwa alam yang
baharu ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi
bukanlah alam ini sebagaian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda dari
pada adanya Tuhan.
Karya-karya yang pernah beliau tulis, antara lain:
1. Hudayah Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu pembahasan mengani
hukum Islam tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya
ini menjadi pedoman dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga
dewasa ini.
2. Miratul Tullab fi Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai pengantar Imu Fiqih menurut mazahab Syafii.
3. Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan
mengenai pokok-pokok ajaran tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam
lapangan ini.
4. Syair makrifat, karangan dalam bentuk puisi.
5. Tafsir al Qur an, dalam bahasa Melayu.
Kepada ulama dan mubaligh inilah Pono menuntut ilmu dan memperdalam
ajaan Islam selama 10 tahun. Lebih-lebih ketika Syeh Abdur Rauf al
Singkli diangkat Sulthanat Syafiatuddin sebagai mufti Aceh, Pono dapat
belajar tentang kehidupan istana dalam hubungannya dengan kegiatan
masyarakat Aceh.
Syeh Abdurrauf memberikan perhatian istimewa pula kepada Pono. Hubungan
antara murid dengan guru terlihat sangat intim. Di samping belajar, Pono
membantu guru menggembalakan ternaknya. Membuat dan memelihara kolam
ikan sebagai bagian dari kegiatan rangkang ini. Murid-murid di rangkang
Syeh Abdurrauf harus berusaha sendiri dan mempunyai ketrampilan untuk
memenuhi keperluan hidup.
Pono diajak tinggal serumah dengan guru. Tugas Pono bertambah dengan
mengasuh anak-anak sang guru. Pono sudah dianggap sebagai keluarga
sendiri oleh Syeh Abdurrauf.
Minat serta perhatiannya sungguh luar biasa diikuti dengan daya tangkap
yang tinggi. Tidak mengherankan Pono termasuk murid yang terpandai di
antara pelajar di sana. Karena itulah Syeh Abdurrauf mencurahkan
sekalian ilmu yang pernah dimilikinya, dan kesempatan ini dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Pono. Ilmu yang dipelajarinya ialah ilmu syariat
Islam dengan cabang-cabangnya tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits dan
juga ilmu taqwim (hisab).
Setelah melalui ujian-ujian berat dilengkapi dengan berkhalwat selama 40
hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan
Beureun, akhirnya Pono berhasil lulus dengan baik, Syeh Burhanuddin
kembali ke Minangkabau.
Setelah cukup menerima ilmu pengetahuan selama beberapa than tibalah
masanya Syeh Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri
dengan perpisahan antara guru dan murid dengan penuh kasih sayang.
Terjadi percakapan antara Syeh Abdurrauf dengan Syeh Burhanuddin yang
berbunyi sebagai berikut:
“Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu
tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati.
Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat
menempuh masa khalwat 40 hari lamanya. Engkau beruntung di dunia dan
berbahagia di akhirat kelak. Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah
darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan. Di samping
itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.”
“Syukur Alhamdulillah”, kata Syeh Burhanuddin.
“Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu
wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau. Kini,
engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat
orang, yakni Syeh Ahmad al Kusasi, Syeh Qadir al Jailani, Syeh Laumawi.
Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat yang harus
kusampaikan kepadamu.
Sesungguhnya nama Burhanuddin yang engkau pakai adalah nama pemberian
guruku itu dan ia mengirimkan sepasang jubah dan kopiah. Terimalah ini
dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi
engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di
dadamu!”
Hari ini adalah saat perpisahan antara guru dengan murid dan
meninggalkan mesjid Singkil untuk selama-lamanya bagi Syeh Burhanuddin.
Syeh Abdurrauf melepas Syeh Burhanuddin dengan sebuah taufah dan
menyediakan perahu disertai sembilan orang yang akan mengawalnya selama
dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Nan Basarung dengan
pesan supaya mengantarkan Syeh Burhanuddin sampai di kampung
halamannya.
Pada saat itu telah terjadi perubahan hubungan antara Aceh dengan
Minangkabau. Daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh satu
persatu ingin melepaskan diri. Demikian juga halnya dengan Minangkabau.
Telah terjadi beberapa kali perkelahian dan peperangan yang banyak
memakan korban. Di antaranya gugur seorang panglima bernama Sisangko,
kemenakan panglima Kacang Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di Pulau
Angso.
Perahu Syeh Burhanuddin mendarat di Pulau Angso di muka pantai Pariaman
untuk beristirahat dan meninjau keadaan di darat. Bersama dengan
pengawalnya kemudian mereka mendekati pantai Ulakan. Perahu Syeh
Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di sekitar pantai
telah siap berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu kemungkinan yang
akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu Syeh Burhanuddin berpendapat
lebih baik kembali ke Pulau Angso menunggu saat yang baik.
Namun, Tuanku Nan Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah
mengantarkan orang kampung mereka sendiri yang telah merantau ke Aceh
beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung sendiri ke pantai. Ia
disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia
memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam melakukan
tugas yang diembannya. Syeh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau Angso
setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh.
Ia berpesan kepada Syeh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di kampung
halamannya dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung.
Melalui seorang nelayan, Syeh Burhanuddin mengirimkan sepucuk surat
kepada teman akrabnya, Idris Majo Lelo yang menyatakan beliau sudah
kembali dari Aceh dan sekarang berada di Pulau Angso. Perahu yang
mendekati pantai Ulakan kemarin adalah perahu saya yang sengaja dikirim
oleh Syekh Abdur Rauf. Setelah menerima surat tersebut, Idris Majo Lelo
menyampaikan isi dan maksud surat tersebut kepada pemimpin dan rakyat
Ulakan. Besoknya, Idris Majo Lelo diiringi beberapa orang menjemput
ulama ini ke pantai Kenaur dekat Pariaman. Kedua teman ini berjabat
tangan setelah sekian lama berpisah.
Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah
mereka bermalam. Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut
ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari
Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia
dikuburkan dekat pinago biru ini.
Menyebarkan Ajaran Islam
Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majo Lelo, pemberian
dari Raja Ulakan. Ke sanalah Syeh Burhanuddin dibawanya. Dimulainyalah
tugas suci mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama
dilakukannya di lingkungan keluarga Idris Majo Lelo. Kemudian diikuti
oleh tetangga terdekat.
Walaupun mendapat tantangan dari golongan ninik mamak dan pemimpin
mesyarakat lainnya yang khawatir pengaruhnya akan berkurang, namun
akhirnya sebagian besar masyarakat Tanjung Medan sudah menganut agama
Islam yang taat.
Syeh Burhanuddin meresapkan agama Islam dengan cara lunak dan berangsur-angsur.
Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang
berbunyi la iqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam menjalan agama.
Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat
ilmu dakwah dari gurunya, Syeh Abdurrauf.
Ternyata cara baru ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin
bahwa kegagalan di Sintuk merupakan keberhasilan yang tertunda, yang
baru menampakkan hasil setelah beliau melakukan dakwah islamiyah di
dalam dan di luar nagari Ulakan.
Dalam usaha meresapkan ajaran Islam terutama diarahkan kepada anak-anak
yang masih “bersih” dan mudah dipengaruhi. Diusahakan oleh Syeh
Burhanuddin agar anak-anak bermain di halaman surau. Syeh Burhanuddin
ikut pula bermain bersama-sama dengan anak-anak tersebut. Setiap memulai
permainan Syeh Burhanuddin selalu mengucapkan nama Tuhan, bismillahir
rahmanir rahim dan bacaan doa-doa lain.
Itulah sebabnya anak-anak tertarik ingin belajar dan ingin mengetahui
isi doa yang dibaca beliau. Setelah murid-murid makin banyak mengaji,
akhirnya setelah dimusyawarahkan secara gotong royong dibangun sebuah
surau di Tanjung Medan yang sampai sekarang dapat kita saksikan tempat
mengaji bagi anak-anak dan santri.
Ilmu pengetahuan agama yang dalam serta pengalaman kenegaraan yang
didapat bersama gurunya, Syeh Abdurrauf yang menjadi seorang mufti pada
Kerajaan Aceh, menciptakankan sistem pendidikan surau. Murid-murid yang
diasuhnya kemudian menyebar di seluruh pelosok Minangkabau yang
mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang melahirkan
cendekiawan ke pedalaman Minangkabau.
Bahkan Syeh Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan
Kerajaan Minangkabau yang menyatakan bahwa hukum adat dan hukum agama
sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau.
Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam masyarakat Minangkabau yang
matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih dikenal dengan adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Kesepakatan Bukit Marapalam
Berita kegiatan Syeh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah
lain, ke Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam
terus ke Pariangan Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek
Balai dan raja Pagaruyung sendiri.
Alam Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke
Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan
mengintensifkan ke seluruh pelosok Minangkabau. Cara yang dilakukan
ialah, dengan meminta restu kepada Raja Pagaruyung. Apabila Raja telah
yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam Minangkabau akan mudah
dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya belajar di Aceh,
Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung
sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syeh Burhanuddin menemui Raja
Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan
Sabatang dan Ami Said, cucu Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan
niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian
berbicara akhirnya Mangkuto Alam ditunjuk menghadap Daulat Raja
Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah
dimusyawarahkan dengan “Orang Nan Sebelas di Ulakan.”
Berangkatlah Syeh Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan
Mangkuto Alam dan Orang Nan Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang
seperlunya menghadap Daulat Yang DipetuanRaja pagaruyung. Pertama yang
ditemui Datuk Bandaharo di Sungai Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro
diundanglah basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang
Ulakan” tersebut minta izin menyebarluaskan ajaran Islam di
Minangkabau.
Tempat sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit
Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum dan saling isi mengisi yang
akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Inti sari konsepsi
Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak”, sebagaimana
disinggung oleh Scherieke dalam bukunya “Pergolakan Agama di Sumatra
Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan
sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam
suatu aksi politik agama.
Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan
daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan
yang diterima dengan suara bulat.
Syeh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya
mengembang agama Islam di seluruh Alam Minangkabau. Dalam pepatah adat
disebutkan batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo,
dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syeh
Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Bagaimana usaha Syeh Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam
waktu yang singkat dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran
peranan gurunya di Aceh dengan filsafah “adat bak po teumeureuhum, huköm
bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja, Iskandar Muda, hukum agama
pada Syeh Kuala) teralir dalam pikiran muridnya Syeh Burhanuddin di
Ulakan.
Daerah pesisir sebagai bagian dari rantau Yang Dipertuan Pagaruyung
menentang kehadiran Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba
menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau
pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Sedang di daerah pesisir mulai berkembang surau-surau yang mengadakan
perlawanan terhadap monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari Koto
Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo. Antara Syeh Burhanuddin dengan
Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu
keutuhan Alam Minangkabau.
Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah
dicapai antara Syeh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung.
Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam.
Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis
oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan
tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syeh Burhanuddin
bersama gurunya, Syeh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah
wawasan Syeh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau.
Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap
kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh
pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran.
Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman
hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun,
syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama
berkembang dari daerah pesisir.
Syariat Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh Syeh Burhanuddin telah
menyinari Alam Minangkabau banyaklah orang yang menuntut ilmu agama.
Dari mana-mana orang berdatangan ke Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan
sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam sudah masyhur. Surau
Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau.
Untuk menampung mereka dibangun lagi surau-surau disekeliling surau
asal. Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang
merupakan satu kampus, permulaan sistem pesantren yang kita kenal
sekarang. Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi suatu proses
penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang
sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Syeh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya
senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum
meninggal dunia, Syeh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus
dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan
dan pendidikan.
Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syeh Burhanuddin melatih dan
mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin
yang akan menggantikan kedudukan, “khalifah” kelak. Menurut penilaiannya
kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya, baik
dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan
Abdul Rahman sebagai khalifah I. Idris Majo Lelo, teman akrab Syeh
Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama
Islam, sebagai kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi
Khatib nagari Tanjung Medan dan jabatan itu berlangsung sampai
sekarang.
Tharekat Ulakan
Ajaran yang dikembangkan Syeh Burhanuddin sebagai penganut mazhab Sjafii
adalah tharikat Syattariyah, yang dinamakan juga tharikat Ulakan atau
“martabat yang tujuh”.
Martabat yang tujuh adalah mengenai ketujuh tahap pancaran dari “ada
yang mutlak”, bersumber dari ajaran al Halaj, Ibnu Arabi. Menurut ajaran
ini semua yang di alam merupakan pancaran dari Allah.
Pikiran ini dikembangkan dari ajaran Wihdatul wujud, bersatu dengan
Tuhan. Penganjur faham wihdatul wujud di Aceh adalah Syamsuddin Pasai al
Sumatrani dan Hamzah Fansuri. Menurut Syamsuddin al Sumatrani, bahwa
Allah itu roh, dan wujud kita ini roh dan wujud Tuhan.
Sedangkan Hamzah Fansuri mengatakan bahwa asal roh itu qadin, yakni roh
Muhammad s.a.w. karena ia dijadikan Allah dari pada nur zatnya yang
qadin. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal
dirinya, berarti mengenal Tuhannya), yang oleh Hamzah Fansuri diartikan
bahwa manusia bersatu dengan Tuhan, bersatu sifat dengan zat.
Adapun ajaran tharikat Syattariyah mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain:
a. tentang lafadz bahasa Arab dari pada imam dan upacara-upacara berdasarkan bahasa Arab yang kuno dan kurang murni.
b. Permulaan dan akhir puasa dilaksanakan semata-mata atas rukyah, dalam arti dapat dilihat dengan mata adanya bulan.
Pengaruh tharikat ini masih dapat disaksikan sekarang lewat “basapa” ke
makam Syeh Burhanuddin di Ulakan. Dalam komplek makam tersebut,
pengikutnya melakukan ratib semalam suntuk. Dalam ajaran tharikat,
pendekatan dan penghormatan kepada guru diutamakan sekali. Jalan pikiran
manusia dalam ajaran tharikat turut mempengaruhi akan peningkatan
amalannya melalui makrifat (ilmu) dan hakikat (kebenaran sejati =
Tuhan).
Untuk memperoleh makrifat, perlu guru atau khalifah. Tanpa guru,
makrifat tidak akan berhasil mencapai hakikat. Fungsi guru di sini
adalah sebagai perantara (rabuthah). Guru menjadi komponen utama dalam
menghubungkan seseorang dengan Tuhannya (hakikat), karenanya menurut
faham ini dalam doa nama guru perlu disebut. Menyebut nama guru ialah
memudahkan doa diperkenankan.
Proses pencapaian hakikat yang telah diajarkan guru menuntut
penghormatan kepada guru, sehingga setelah meninggal jasa guru perlu
diingat dalam bentuk ziarah ke makamnya. Dalam pikiran si murid, ulama
dan guru tharikat dianggap mempunyai kelebihan yang luar biasa hingga
dianggap keramat.
Tanah dan tempat-tempat yang pernah dipakai oleh ulama tersebut perlu
dihormat dan dikunjungi. Banyak di antara murid-murid Syeh Burhanuddin
yang mengembangkan ajaran tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang
murid yang terkenal ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan.
Setelah Syeh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada
Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan
perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini
mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya
masing-masing.
Pada pertengahan kedua abad ke-18 terjadi perkembangan ilmu pengetahuan,
politik dan lahirnya cendekiawan sebagai salah satu unsur kepemimpinan
tali Tigo Sapilin.
Sejalan dengan itu lahir pula pembaharuan pemikiran agama Gerakan
“kembali ke syariat” yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Padri
(1784 – 1821) untuk mengatasi kemajuan kehidupan masyarakat pada
masanya.
“…siapapun orang nya yang mendalami tentang ilmu hakikat tidak
menjalankan atau meniggalkan syari’at bagaikan tubuh ada hati tiada
akal…”
“…Mendalami syari’at tanpa mengetahui atau famam tentang ilmu hakekat bagaikan tubuh yang ada akal tiada hati…”
Syeh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan,
baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropa lainnya. Salah
satu sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan
lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno
tulisan Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih
Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang
ditulis pada tahun 1823. Buku ini menjelaskan peranan surau dalam
menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh
murid-murid Syeh Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab
Melayu oleh Syeh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul
Riwayat Syeh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam
Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono,
yang kemudian bergelar Syeh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas
kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian
berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syeh Abdurrauf al Singkli.
Syeh Burhanuddin adalah salah seorang dari murid Syeh Abdur Rauf al
Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syeh Kuala. Sekembali dari
Aceh, Syeh Burhanuddin membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan
pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar
melalui jalur perdagangan di Minangkabau terus ke Kapeh-kapeh dan
Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di
sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak
menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal
dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari
seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari
Syeh Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang
memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa
surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi
spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau
itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang
dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam
mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith),
Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadits; Surau di Talang
dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ).
Dalam catatan lain terdapat sederetan para ahli dan penulis yang
menyelidiki riwayat dan peranan Syeh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan
Thomas Diaz tahun 1684 yang diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini telah
melibatkan rakyat dalam politik agama yang dikenal dengan nama
“perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang kemudian hari melahirkan
konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak.
Penulis bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam
(1961), Sidi Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam
(1962) dan Prof. Muhmud Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969)
mengupas peranan ulama Syeh Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam
yang berpusat di Ulakan.
Semua para penulis tersebut sepakat bahwa Syeh Burhanuddin adalah
seorang ulama dan pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di
Guguk Sikaladi Pariangan Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai
seorang mubaligh yang mengembangkan agama Islam setelah memperdalam
syariat Islam selama 10 tahun di Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan
surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya di Ulakan.
Syeh Burhanuddin meninggal dunia pada hari Rabu 10 Syafar tahun 1116H
atau 1704 M di Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap
tahun yang dikenal dengan nama “basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada
hari Rabu, akan diperingati sebagai “basapa gadang” , bersapar
besar-besaran.
Peninggalan Syeh Burhanuddin
Peninggalan Syeh Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik,
seperti bangunan Surau Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi
monumen sejarah dalam membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung
monumen itu. Peninggalan sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber
penulisan sejarah Syeh Burhanuddin.
Surau Syeh Burhanuddin
Peninggalan utama Syeh Burhanuddin yang sampai saat ini masih
terpelihara dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung Medan dan
komplek makam di Ulakan yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya
sebagai rasa hormat kepada guru dan pengembang agama Islam di
Minangkabau. Dari segi geografis, nagari Ulakan terletak di muara sungai
Ulakan di tepi pantai barat Sumatra. Suatu kampung atau nagari yang
terletak di tepi pantai paling cepat menerima perkembangan dan
pertumbuhan.
Secara alamiah Nagari Ulakan berbatas:
a. Sebelah utara dengan Nagari Sunur dan Nagari Pauh Kambar
b. Sebelah selatan dengan Nagari Tapakis
c. Sebelah barat dengan Samudra Indonesia
d. Sebelah timur dengan Nagari Tapakis
Nagari Tapakis terdiri dari 19 jorong, yakni Padang Toboh, Maransi,
Sungai Gimbar Ganting, Lubuk Kandang, Sikabu, Tiram, Kampung Ladang,
Kampung Gelapung, Kampung Koto, Bungo Padang, Pasar Ulakan, Tengah
Padang, Palak Gadang, Tanjung Medan, Binuang, Koto Panjang, Manggopoh
Dalam, Manggopoh Ujung, dan Padang Pauh. Letak Jorong ini umumnya
terletak sepanjang pantai atau pesisir, penduduknya sebagian besar
terdiri dari nelayan. Di lingkungan seperti inilah peninggalan Syeh
Burhanuddin berupa makam di Ulakan dan Surau di Tanjung Medan.
Setelah bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, jalan
dagang berpindah dari Aceh, pantai barat Sumatra, Banten, Giri di Jawa
Timur, Goa dan Tello di Sulawesi, dan Ternate Tidore di Maluku. Di
pantai barat Sumatra tumbuh kota-kota perdagangan seperti Meulaboh,
Sibolga, Tiku Pariaman, Indrapura. Ulakan, sebagai kota pelabuhan
dagang, mengalami kemajuan karena disinggahi oleh para pedagang berbagai
daerah dan dari luar negeri seperti saudagar Gujarat, India, Arab dan
Cina.Ulakan menjadi suatu pelabuhan penting dan pintu gerbang bagi
daerah Minangkabau di masa itu, dan tempat bertemu saudagar-saudagar
yang beragama Islam.
Pada batu nisan Syeh Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal 10
Syafar 1116 H bertepatan dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal
pada umur yang masih muda, 45 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun
1646. Ketika berangkat ke Aceh ia berumur 15 tahun dan masa belajar di
Aceh selama 10 tahun, kegiatan dakwah berlangsung selama 20 tahun.
Di kiri kanan makam Syeh Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang
disebut khalifah bernama Abdur Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan,
Idris Majolelo. Ketiga makam ini terletak di bawah bangunan empat
persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh sebuah masjid kecil yang
mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada loteng tergantung
tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang rombongan baru
tirai itupun diganti.
Pengganti-pengganti Syeh Burhanuddin adalah Tuanku-tuanku yang menjadi
khalifah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin sampai khalifah ke-16, Tuanku
Mudo. Di halaman bangunan berkubah terdapat beberapa makam para
pengikutnya, khalifah-khalifah atau pewarisnya. Kebanyakan telah rata
dengan tanah. Sebagai pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya
batu nisan terbuat dari batu alam berbentuk persegi panjang. Di bagian
muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah
kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm.
Lokasi bangunan ini dipagar dengan tembok lebih kurang 1 m. Luas areal
yang terpagar adalah 8 x 7.5 m. Di luar pagar terdapat pula makam-makam
yang banyak, yang dipagar dengan tembok tinggi 1,5 m dan luasnya 8,5 x
12,5 m. Di luar pagar ini baru terdapat halaman yang luas dikelilingi
oleh kira-kira 200 buah surau dan di tengahnya terletak sebuah masjid.
Surau-surau ini merupakan perwakilan dari daerah atau nagari di Sumatra
Barat yang juga berfungsi sebagai tempat menginap para peziarah.
Makam Syeh Burhanuddin dan makam lainnya, sangatlah sederhana, ditandai
oleh dua buah nisan dari batu andesit dengan pengerjaan sederhana tanpa
variasi yang penting sebagai monumen sejarah. Surau Syeh Burhanuddin
terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan. Lokasi surau
agak masuk ke dalam dari jalan raya melalui jalan tanah yang cukup baik.
Surau terletak di atas tanah yang datar dengan halaman yang luas.
Tanah lokasi surau Syeh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh
Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya
semasa Syeh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah
bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam.
Syeh Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syeh Burhanuddin terdiri dari dua bangunan, yaitu:
1) Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan
tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan
berfungsi sebagai entrance hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka.
Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagai
halnya rumah gadang.
Bangunan berdenah segi empat bujur sangkar yang terletak di belakang
serambi. Pada prinsipnya bangunan ini dengan struktur konstruksi joglo,
sebagaimana masjid kuno di Jawa, di antaranya masjid Demak. Namun sesuai
dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, bangunan ini dengan
struktur berkolong (loteng dan panggung). Dengan struktur bangunan joglo
ini, dalam surau terdapat empat tiang utama dikelilingi dua deretan
anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan pada deretan
kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang (soko
guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya,
maka struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan
melekat pada deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya
dihubungkan dengan kayu yang disambung dengan rotan yang disimpai.
2) Atap surau Syeh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau
lainnya di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh
dan surau Lima Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan
arsiterktur konstruksi atap tumpang dengan bentuk berpuncak dengan
hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak yang dibangun dalam abad ke-16.
3) Arsitektur surau Syeh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan
masjid di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad
ke-17. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak.
Dengan perbandingan tersebut, arsitektur surau Syeh Burhanuddin
pembangunannya dalam abad ke-17. Hal ini diperkuat dengan mihrab tanpa
atap tersendiri sebagaimana masjid Demak. Berbeda dengan mihrab masjid
lainnya di Minangkabau yang selalu dengan atap tersendiri.
4) Bahan bangunan Syeh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang
maupun konstruksi atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang
kemudian diganti dengan atap seng pada tahun 1920. Struktur bangunan
surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang
sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan
lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan
masa itu. Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja
mengambil bentuk segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya
diikat dengan rotan tanpa paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan
paku kayu.
5) Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang
terletak di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada
perbaikan yang sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak
keasliannya. Bangunan surau Syeh Burhanuddin belum pernah mengalami
perubahan, selain penambahan serambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar