Selasa, 21 Juni 2011

Orang Minang

M Dzakie ASR

Saya sebagai orang minang ? :
Etnis minangkabau dikenal sebagai etnik yang menjunjung tinggi paham egalitarian. Suatu paham persamaan kedudukan dan status sosial di dalam masyarakat. Meskipun didalam kehidupan masyarakat berlapis karena adanya pengaruh birokrasi, namun kehidupan birokrat tidak pernah hidup di Ranah Minang. Kita melihat bagaimana egaliternya suasana di perkantoran Pemerintahan di Sumbar. Seorang Kepala kantor dalam suatu Unit kerja di Pemerintahan tidak akan merasa lebih tinggi dengan para eselon dibawahnya. Demikian juga pada strata yang paling bawah semisal sopir, tidak pernah merasa menjadi pengemudi dalam artian sebenarnya – melainkan lebih menunjukkan diri sebagai teman seperjalanan. Bukan ada pepatah adat  yang menyatakan ” duduak samo randah, tagak samo tinggi.
Untuk memahami jati diri minangkabau,  di sinilah letak kelebihan orang Minang, sebagaimana dibuktikan, umpamanya, oleh Haji Abdul Karim Amrullah yang konsisten, yang tidak mau melalukan saikere, sekalipun di muka para petinggi militer(isme) Jepang. Demikian juga puteranya yang dikenal dengan panggilan BUYA HAMKA, melepaskan jabatannya sebagai Ketua MUI – ketika tidak ingin akidah islam menyepakati perayaan NATAL yang dirayakan oleh umat Nasrani.
Demikian juga keberanian seorang H. Agus Salim didepan Sidang Umum PBB pada pasca Kemerdekaan RI, demi tuntutan persamaan kedudukan dan kesejaran negara Indonesia berhadapan dengan negara-negara didunia. Ia dikenal debagai singa podium.
Akan tetapi selain keunggulan orang minang yang berpaham egaliter itu,  kita tidak bisa memungkiri bahwa ada ekses yang menyebabkan orang minang ini memiliki kelamahannya. Menjadi b angga dengan eforia masa lalu para tokoh-tokoh minang yang pernah mentas.
Pada akhir-akhir ini terasa bahwa pandangan orang minang yang sukses dimasa lalu itu – tidak tanpak lagi – bahkan kita melihat bahwa orang minang bisa melaju apabila ia sendiri yang mengayuh sampannya untuk menuju pulau impiannya. Jika kita amati lebih dalam – acap kali kita menemukan saudara kita itu, baik yang berada di kampung halamannya maupun yang tengah merantau – menjalani kehidupan yang sudah tidak sesuai dengan budaya dan tradisi yang dianutnya. Bagaimana ia menegakkan kepalanya agar ia bangkit – terkadang melampaui batas kewajaran yang diajar oleh adat dan budayanya.
Saya tidak akan menunjuk orang lain, dalam memahami jati diri orang minang yang melenceng dari tatanan adat pada umumnya, namun saya akan mengumpamakan diri saya sebagai orang minang tersebut ( meskipun saya besar dirantau), bahwa :
1.    Sebagai orang minang – saya menganut  paham egaliter didalam kehidupan bermasyarakat dan dunia kerja. Sikap saya ini tidak perlu dipermasalahkan karena budaya saya mengajarkan dalam pepatah yang berbunyi : “ duduk sama rendah – berdiri sama tinggi. Dalam kenyataan didunia kerja saya yang birokrasi, maka hubungan atasan dan bawahan hanya berlaku pada jam kedinasan belaka. Saya paling tidak suka pengidolaan seseorang, karena budaya saya tidak mengenal pendewaan dan feodalisme.
2.     Saya orangnya terbuka – tidak perlu ada dusta diantara kita – padahal dialam birokrasi dusta diantara kita itu mesti dilakukan demi melaksanakan tugas kantor yang kadang-kadang seret dananya.
3.     Saya sangat menjunjung tinggi martabat dan harga diri saya – karena bukankah saya berasal dari keturunan dari Iskandar Zulkarnain – kisah yang ada pada tambo – tambo yang hingga saat ini masih diperbincangkan. Selain itu karena saya menganggap budaya saya lebih tinggi dari etnis lain. Bahkan dalam menjunjung tinggi martabat itu saya diajarkan dalam pepatah minang yang berbunyi : ” Jika hendak mulia – harus suka memberi, jika ingin ternama (terkenal) dirikan kemenangan, jika mau pandai rajin berguru, jika ingin kaya harus kuat berusaha”
Bunyi pepatah ini merupakan suatu prestasi yang mesti saya raih dan saya capai. Barangkali inilah yang menjadi visi dan misi saya sebagai orang minang.
Akibatnya nilai yang dicapai pada suatu persaingan itu adalah melawan dunia orang. Yaitu bila orang mampu tentu kita mampu pula. Sebaliknya bila kita mampu tentu orang lain mampu pula.
4.      Saya selalu bisa bekerja alias sama sama bekerja tapi.., jika ingin bekerja sama.. tunggu dulu..!!. Saya harus melihat kapsitas dan kapabilitas orang itu dulu. Hidup saya selalu ingin nilai orang lain….!!! Karena bukankah saya juga punya target – target yang mesti bisa saya realisasikan demi sebuah pepatah yang berbunyi : “ jika ingin mulia bertabur urai – jika ingin ternama (terkenal) dirikan kemenangan. “
Banyak yang ingin saya ungkapkan apa – siapa dan bagaimana diri saya sebagai orang minangkabau. Akibatnya  sifat saya adalah menjadi egois – kurang mempercayai orang lain.
Bahkan terkadang saya mentertawakan diri saya ini – bahwa sesungguhnya saya bagai seekor “ jerapah “ yang anggukannya melebihi tinggi badannya… Sementara pada etnis lain – angguaknyo angguak balam.  Padahal orang jipun saja yang sudah mendunia berkat kekuatan ekonominya masih membudayakan anggukan yang santun. Nah bagaimana dengan saya….? Coba Anda menelaah diri saya. Ketika saya menyapa Anda pastikan  saya bukan menganggukkan kepala kebawah melainkan keatas. Cobalah praktekkan cara saya itu…
5.     Saya selalu mengharga diri melebihi ukuran kemampuan saya. Sehingga untuk menutupi defisit harga diri saya itu, maka jadilah saya tukang pencemooh – jika tidak dikatakan kita suka menghujat orang lain.
Bagimana pendapat Anda dengan ulasan saya ini….????  Inilah  contoh pada diri saya …..??!!

1 komentar:

  1. Inilah kelemahan orang minang, susah bekerjasama dgn orang lain... maunya kerja sendiri tapi hasil bejibun... jaman sekarang sudah berlaku sistem teamwork.. bisnis dikerjakan bersama..bahkan orang bodoh yang kuat modal bisa sukses luar biasa dgn mempekerjakan orang pintar kuat mikir kuat manajemen..

    BalasHapus